Translate

Jumat, 20 November 2020

Katakan Saja, Makan Besar


Ujung-ujungnya, duit. Kita bisa bersepakat atau tidak, tak mengapa, ya, itu bernapas juga tak berbayar. Beda dengan sesak napas, kalau punya duit beli obat di apotik, diminum dan istirahat.

Idealnya, segera ke dokter untuk memperpanjang umur? Kisahnya hanya begitu. Cukup banyak momen menarik, yang terpaksa dipublikasikan media massa secara tebang pilih asal bapak senang, datang dan pergi setiap hari, di negeri ini. 

Akan tetapi, katakan saja, misalnya: Manusia dalam Otoritas Penyakit di Indonesia, seperti apa pencitraannya? Hal ini tentu  cukup menarik dicermati. Atau, abaikan saja dengan alasan enggan dituding hoax? 

Padahal, manusia itu identik dengan rumah untuk segala macam penyakit, beda dengan gedung rumah sakit, yang  didesain bebas penyakit.

Bahkan, Manusia dalam Kemitraan Investor di Indonesia, yang kini menjerit minta keadilan, seperti hilang ditelan oligarki?  Seperti apa pula pencitraannya? Order sepi?

Order kok sepi? Anak belum jajan. Ban bocor. Pulang ke rumah bawa tentengan sedikit saja. Di depan pintu rumah di hadapan keluarga seakan mendapat tantangan. Spontan ciptakan  aksi teatrikal seperti seorang centeng berpura-pura mengintimidasi keluarga kandung. Lapar itu bikin letih, lusuh, kumal, dan gampang berang?

Pernahkah anda bermimpi di siang hari, mimpi  menjadi orang nomor satu di dunia? Bahwa menjadi orang nomor satu,  bukan impian terjelek. Katakan saja begini, semua kepala negara adalah orang nomor satu, termasuk raja bagi monarki.

Ada sejumlah mimpi yang saya alami dalam beberapa dekade ini, tapi jumlahnya saya tidak tahu. Katakan saja, itukan mimpi tadi tak kunjung datang hanya karena berencana bermimpi  jadi presiden.

Bahkan, bermimpi menjadi putra-putri terbaik di negeri ini, pasca rezim pencetus Omnibus Law berakhir, tergolong mimpi bertipikal  tak mengapa. Memang, begitulah mimpi, tak mau perduli dengan kompromi apalagi komitmen.

Bayangkan, ketika itu, pasca pemberlakuan Omnibus Law,   seperti mereka memprediksi bahwa negeri ini, antara lain, kebanjiran investor? Pentingnya urus sertifikat tanah, kan gampang dijual, anak cucu kelak tak bakalan menang bila menyoal warisan mereka.

Duit bakal berterbangan di Indonesia? Para penggembira investor beranggapan, pemodal asing harus diperlakukan istimewa. Investor jangan diseret ke meja hijau, dan relakan mereka untung banyak agar layak berkompetisi.

Marah dan gelisah menampakan framing keseharian kita. Antara ada dan tiada, orang bertanya, sampai kapan Covid-19 ini berakhir? Walau demikian, para elit tetap tegar tersenyum sembari menggugat tanggung jawab moral masyarakat yang cukup representatif bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, di tengah aksi demokrasi jalanan yang  telah merebak.

Kendati begitu, belakangan ini muncul gagasan, manusia Indonesia harus mampu bedakan antara orang salah dan orang jahat. Manusia Indonesia itu bukan pekerja hukum.

Rumah hunian manusia penjara makin padat, over load.  Sepertinya lebih gampang memberi makan manusia penjara daripada menyuapi fakir  miskin dan anak terlantar.

Katakan saja, just say it.  Katanya, nenek moyang manusia memang paham bahwa orang besar, makan besar. Buat apa jadi investor, jadi pemimpin, kalau makan saja hanya sedikit? (Yunius Djaro)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar