Translate

Selasa, 23 Februari 2021

Masih Seperti Dulu (Part - 2)



Tidak ada yang berubah, masih seperti dulu, di dunia ini.  Walaupun, sekarang juga, mungkin manusia memandang telah lahir dunia baru, nyatanya keliru.

  

Tapi, biarkan paranoid itu berevolusi apa adanya. Dan, abaikan saja kalau hanya sebatas konsensus haus pengakuan, milenium. Kaum pembiak intelektual kian menjamur. Ada-ada saja ya, manusia tetap doyan membual demi terhindar dari kemiskinan, namun sia-sia. Membunuh demi hidup, berkuasa dan kekenyangan. Menuding miskin adalah buah kebodohan dan itu tidak butuh solusi, akan tetapi strategis bagi konseptor desain proyek, begitulah siklus kehidupan manusia masa silam dan kini. Semua bisa bermutasi, bukan sebatas virus. Pasti ada gantinya.

It's time to breakfast?

Jackbro belum bisa tidur. Dia menyadari bahwa dia harus menyajikan menu breakfast untuk Guetas. Tapi, dia mendadak cemas karena ucapannya, beberapa waktu lalu itu, yang dia anggap menyumpahi istrinya untuk mati saja justru meresahkan diri sendiri.  "Tidurlah dan jangan bangun lagi sebelum lukisan ini nyaris tidak mungkin rampung." Karenanya, dia mengintip memastikan apakah Guetas masih bernapas, lalu merasa tenang begitu mendengar istrinya membunyikan sesuatu yang tidak enak di hidung. Jackbro terpesona mendengar bunyi dari corong yang beda. Tapi, aromanya tidak bau, ya. Seperti petasan terbakar. 

Katanya, Amazon itu adalah hutan tropis yang diakui sebagai paru-paru dunia. Lokasi ini diklaim ikut menyumbang sepertiga oksigen secara gratis adalah kemurahan alam. Sementara di tempat lain, hutan dibakar untuk menyenangkan pengusaha tani pemodal bonafit, investor. Hutan dibakar demi ketersediaan lapangan kerja. Dibakar untuk meningkatkan ekspor masa depan, dibakar untuk menambah hutang lalu buat bayar hutang, hutang demi menyelamatkan generasi tua yang telunjuknya terdepan.

Pagi dan pagi lagi. Sebentar lagi matahari terbit. Hidup adalah hidup. Hidup itu bukan pilihan. Hidup itu memang abadi. Dia datang silih berganti, patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu. Janganlah heran jika kemiskinan mulai merambah ke seluruh area dimana telah nampak jejak kaki menapak. Lantas, semakin sering terdengar manusia mati tertimbun tanah longsor, terseret banjir bandang itu, juga mati atas kehendak manusia, mati karena terlambat mendapat pertolongan pertama dan sejenisnya. Mati meninggalkan keabadiannya.

Father,  hari ini, aku ke kantor lebih awal,  kata Nura. "Aku curiga, pimpinan di kantor mengancam akan memecat para kuli yang sering terlambat, apapun alasannya."  Suara itu memecahkan lamunan Jackbro.

Yes, kata Jackbro. Sambil berbalas senyum, mereka juga saling melambaikan tangan. Nura pergi, tanpa menoleh ke belakang, sementara Jackbro memperhatikan Nura hingga tidak nampak lagi.

Kau tetap konsisten, kenang  Jackbro membayangkan sebutan father. Ucapan Nura itu memang cukup familiar dengan perkataan father, daripada menyebut ayah atau bapak. Nura terbiasa dengan ucapan father untuk memanggil Jackbro sejak Nura belajar berkomunikasi pada usia balita, usia yang ideal mengajari etika komunikasi bagi generasi penerus. Ketika etika komunikasi terabaikan, gantinya adalah hati kotor, pikiran jorok, tangan berdarah lalu makan hati.

Tapi, setelah mendengar ucapan Nura, yakni pecat, Jackbro termenung sejenak. Pikiran pria ubanan itu spontan mengembara dan mulailah dia berspekulasi, berandai-andai, berasumsi. Dia juga membandingkan buruh masa kini dengan kondisi buruh pada masa dia masih berstatus pekerja, dimana ketika itu dia tidak paham betul soal kolusi, nepotisme, juga rasialis dan diskriminasi pada level eksekutif yang ikut menjalar kemana-mana.

"Kalian harus disiplin. Taat aturan perusahaan. Siap jalankan perintah. Mampu bekerja dibawah tekanan. Terus bersemangat. Jangan coba menuntut upah tinggi, dan lakukan adegan  unjuk rasa segala. Di luar sana, masih ada ribuan orang antri cari kerja," ungkap Nura meniru perkataan pimpinannya di kantor. Jackbro tentu prihatin setelah mendengar cerita Nura saat mereka duduk ngobrol beberapa waktu lalu, mendiskusikan masa depan buruh, yang narasinya terus melekat dalam ingatan Jackbro. 

Waktu terus berlalu. Hidup terus diwarnai tekanan mental luar biasa. Bahkan, Jackbro tidak heran bahwa  mengunyah apa saja yang dimakan terasa tidak enak karena semua makanan itu memang terasa tidak enak lagi. Nenek moyang manusia sering berkata, ketika umur kita semakin tua, lidah kita semakin kapalan dan gigi kita ompong, maka makanan yang kita kunyah kemudian telan itu terasa kurang enak lagi. Hanya air putih nampak  gampang diminum, selebihnya terasa hambar. 

Segala hal yang berhubungan dengan aktifitas biologis terasa cukup meresahkan dan kurang harmonis. The golden age is over. Nyaris menduplikasi Lone Wolf.

Kenapa, pikir Jackbro, sudah tua kok manusia ngotot cari panggung, pamer identitas sehingga berpotensi mencuatkan kegaduhan, padahal aktifitas demikian cukup melelahkan, namun belakangan ini malahan kian digandrungi orang. Karena itu proyek, untuk merehabilitasi kemakmuran berlimpah yang tertunda bagi sekelompok orang lantaran  mereka hanya berdiri di tepian pemisah antara yang berkuasa dan yang belum kebagian kursi panas akibat kehilangan panggung.

Hal yang demikian itu tidak beda dengan Guetas, yang kini berstatus pengangguran tua, wanita berambut tiga warna yang selalu menolak dirias suami, tapi paksa diri minta suami mengajari teknik menulis berita ketika penasaran dengan tampilan para jurnalis, menggandrungi dunia maya sembari mengubur kebenaran lantaran terancam lengser akibat tekanan owner. Wanita yang mulai menggila media sosial itu. Wanita tua yang optimis bahwa kamera wartawan kalau digenggam hati serasa sejuk, dada membusung, kepala mendongak, tapi rejeki tipisnya.

Lantas, apa yang mau ditelan? Minum susu bungkus plastik kelas murahan, kau tidak mau. Susu berlabel eksklusif,  kau bilang tidak enak karena alergi di badanmu kambuh lagi kalau kau telan susu produk konglomerat itu. Breakfast tanpa segelas susu, serasa kurang utuh.

Padahal, dulu kau selalu minta dibelikan susu instan kemasan kardus yang bermerek sebagai minuman favorit. Kau bangga saat mencicipi, menelan tanpa beban. Ketika itu, kita mengunjungi sebuah plaza modern empat puluh tahun silam, fresh milk menjadi favorit, kenangan yang selalu menggoda ingatanku. 

Oh, itu bukan ilusi. Fresh milk itu tetap mengusik masa lalu yang kini menggoda alam pikiranku. Ketika bertambah tua, Jackbro  merasakan cukup banyak momen indah dan menyeramkan menghantui tempurung kepalanya. Belum sampai sepuluh tahun, saat dia menghadiri pemakaman orang tuanya, kini dia menyadari bahwa hidup itu singkat. Manusia menua susul-menyusul. "Tapi, zaman bapakku, hidup serasa teduh."

Ternyata, breakfast punya logika relasinya juga, apalagi hal ini berkorelasi dengan usia lanjut. Artinya, kalau selera makan berkurang, uang belanja sehari-hari bisa hemat, itu karena ada orang  menolak santapan siap saji yang menguras dompet. Ini, cukup menarik, dan perlu ada upaya alternatif menyajikan menu breakfast untuk perempuan macam Guetas yang berselera makan berubah karena isi dompet berubah-ubah.

Wah, kalau hanya sebatas itu, akan dimaklumi, pikir Jackbro ketika dia mau meninggalkan meja kreasi tempat melukis black panther si mata kucing berbulu domba itu yang nyaris tidak mungkin rampung. Lukisan mangkrak.

Jackbro menyadari bahwa kemampuan dia melukis jauh dari harapan. Tapi, dia optimis bahwa dengan melukis berulang-ulang, kepala black panther menjadi mudah dilukis. Apapun itu, dia ingin menghasilkan karya orisinil. Dia juga akui, wajah angker black panther paling sulit dilukis. Menghasilkan bola mata yang cocok saja, tidak mudah. Apalagi menganalisis isi tempurung kepala black panther itu, ketika makhluk ini lapar berat, jadi berabe.

Creatifity produces original ideas, adalah sesuatu yang memang bukan ilusi. Mendadak dia alami otak mentok. Seperti butuh alat pacu otak. Dia mengambil sebatang rokok kretek, membakar dan menghirup memainkan asap itu. Saat bersamaan, lobang telinganya seakan bebas hambatan diterpa sejuk angin pagi. Dia merasa seakan menemui energi baru. Energi  yang menggerakkan jarum jam dinding itu, yang menunjukkan saat ini belum tiba waktu yang tepat untuk menghidangkan menu breakfast. 

Guetas, jangan cepat bangun. Sebentar lagi, kita makan besar. Hempasan sejuk hembusan angin Amazon mendadak menghampiri kita, lalu  menerpa menjulang melayangkan imajinasi itu. Aku pasti ke sana, kata Jackbro. (Larikata)

Author : Yunius Djaro




Senin, 25 Januari 2021

Masih Seperti Dulu (Part - 1)

Masih seperti dulu, dia masih merokok. Aku menyarankan, berhentilah dan tinggalkan rokok. Anda sudah tua.

 

Dia malah membentak. Menyalak seperti anjing terjepit pintu. Suara itu nyaris membuatku muntah. Nuansanya, romantis berbungkus melodi cinta, yang indah dalam keindahan, tapi tulus adanya. Pura-pura membentak.

Saya ini istrimu. Hari ini, namaku kau panggil dengan sebutan Guetas. Sebentar lagi, namaku itu kau sebut Geser. Sering, kau panggil namaku Kopi, ketika kau minta dibuatkan secangkir kopi. Tidak mengapa. Menyapa diriku ember juga tidak digubris lagi.

Guetas mencibir. Dia tahu bagaimana menyiasati suami bertipikal black panther, semacam jaguar, yang layak tinggal di hutan Amazon yang indah itu, tidak adiktif. Apa jadinya kalaulah pipi membasah dituding rasis?

Aku tidak tahu sudah berapa ratus kali kau berperilaku rasis pada diriku. Aku memilih mengalah terus. Itu demi keutuhan kita. Toleransi. Padahal, idealnya, kita pisah ranjang. Bahkan, pisah pulau, terserah kau saja. 

Tapi, kini dan mungkin seterusnya, Guetas gagal. "Betul, dia adalah ayahmu, karenanya gaung ucapan ini aku telan sendiri," kata Guetas kepada anaknya, Nura, yang akan bergegas menuju kantor.

Nura, ujar Guetas, bekerjalah secara profesional. Lihatlah, bapakmu sudah tua, penganggur, perokok berat dan penyakitan pula. Sekarang, kau adalah tulang punggung keluarga. Jika kau dipecat, rumah ini kita jual buat biaya hidup.

Guetas berkata, setiap saat keluarga kita terancam bangkrut. Sistem kontrak kerja memang potensial buat kami para orang tua yang usia lanjut ini merasa terintimidasi secara moril. 

Bayangkan, kata Guetas kepada putrinya itu, jika saja bulan depan, kontrak kerja itu tidak diperpanjang, mau apa kita ini. Lamar kerja lagi? Kehidupan buruh seperti telur diujung tanduk. 

Nura hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya. "Aku paham," kata Nura, yang juga membenarkan pernyataan ibunya mengisyaratkan nasib buruh seperti telur diujung tanduk adalah suatu kecemasan fundamental.

Mereka berpisah. Guetas mendekati suaminya. Terserah kamu saja, Jackbro. "Tidak boleh  seorang pun mendengar kata-kata yang cocok untuk menjustivikasi sang pecandu."

Lantas, kenapa masih terdengar suara orang batuk? "Batukku tidak berdarah lagi, Guetas."  Penyakit yang saya alami ini perlahan-lahan akan pulih, kata Jackbro, yang menyadari betul bahwa manusia tidak mampu menyembuhkan orang sakit.

Selinting rokok habis terbakar. Asap menggulung melewati cerobong, yang dicolok karena tersumpal upil, menyembur putih sutra warna menggulung indah sekali.

Oh, pria jago pelintir, kau itu tua. Master gagap. Boleh kau pelintir asap rokok ini, tapi jangan coba kau pelintir maklumat itu. Ultimatum, sikat habis. Itu bukan pelanggaran hak asasi manusia. Mati kita.

Kau itu, kata Guetas penuh kesal. Senyumanmu kurang elok. Tawamu lepas, tapi untuk menghibur diri sendiri. Aku tidak heran, tawa canda macam begitu membuat perempuan salah fokus.

Bicaralah selagi kau mau. Aku tidak ingin berdebat, kata Jackbro. Apalagi, hari ini kita menganggap tidak penting merayakan empat puluh tahun hidup bersama. Nampak menggelitik, hanya karena kau batuk, kau berkata, buah dari hasil menghirup asap rokok selama empat puluh tahun meski kau bukan perokok.

Cukup banyak orang mempertanyakan batuk yang dialami suamiku. Aku selalu menyarankan, dia berhenti merokok. Kami nyaris berhantam. Malam makin larut. Dua cangkir kopi ludes. 

Tanpa kopi, perokok mati total, mati terbunuh kreatifitas. Sesederhana itukah ilustrasinya? Ungkapan itu membuatku termenung, dan menyimpulkan sekolah masa kini itu penting, walau berujung pada kultur perbudakan mayoritas.

Retorika memang selalu muncul dalam kondisi orang memandang kemapanan hanyalah ketertinggalan, atau orang yang isi kepalanya bersemi replika kekejaman masa silam yang diduplikasi masa kini. 

Perbudakan hidup lagi. Sehebat apapun sang mentari, manalah mungkin dia selimuti pelangi. Sama-sama kan indah pada waktunya. Masih seperti dulu.

"Masih ada hari esok, kau bisa merokok lagi," kata Guetas. Istirahatlah, ujar Guetas membujuk Jackbro, ingat umur.

Buat apa? Biarkan umur memacu nadiku. Nanti dulu, kata Jackbro dalam hati. "Jangan kau bilang aku sudah tua."  Jackbro sinis, tapi dia tidak membuyarkan isi kepalanya untuk menginjakkan kaki di hutan Amazon. 

Oh, Amazon. Indah itu. Neraka hijau. Amazon memang beda sekali dengan rayuan pulau kelapa. "Bukan lautan hanya kolam susu."  Amazon adalah masa depan umat manusia.

Amazon, hutan hujan tropis seluas 5,5 juta kilometer persegi, terletak di sembilan negara. Negara dimaksud yakni: Brazil, Kolombia, Peru, Venezuela, Ekuador, Bolivia, Guyana, Suriname dan Guyana Perancis.

Kalau saja aku bisa ke tempat ini berarti kesempatan menulis buku tentang Amazon, menulis buku dalam perspektif manusia Indonesia, bisa terwujud. Wow, keren.

Wow, keren betul, pikir Jackbro. Standing and flying. Sembilan negara pasti aku kunjungi. Ketika menginjakkan kaki di tanah Amazon itu, berarti sembilan negara sudah aku datangi. 

Sesederhana itu. Tidak mengapa, kita perlu sederhanakan sesuatu yang ternyata tidak sederhana, apalagi ingin menyamakan diri dengan black panter sang kucing hitam yang jago membunuh untuk makan.

Jangan sengaja menyakiti siapapun, suamiku, kata Guetas geram sembari melangkah menjauhi Jackbro si mata kucing yang serius melukis wajah humanis black panther.

Aku bergeser beberapa meter dari sisinya. Posisi duduk berhadapan. Kepulan asap rokok membakar spritualitas diri, seperti yang selalu diulang-ulang dalam ucapan dia.

Beruntung, manusia Indonesia gagal membujuk pemerintah legalkan ganja. Makanya, yang nampak pada gambar seram di bungkus rokok bertulis peringatan: rokok merenggut kebahagiaan saya satu persatu. "Karena rokok, saya terkena kanker tenggorokan."

Jackbro mengatakan, dia tidak perduli kalau harga rokok dinaikan. Dia malah senang sekali kalau harga rokok makin mahal. Soalnya, dalam perspektif inilah dia ingin menyaksikan kemiskinan struktural berkembang makin meluas dan merata dipicu keserakahan manusia paksa jual mahal.

Mata merah melotot. Tersenyum sinis. Melirik penuh pesona. Hampir  setiap hari dia melukis tidak rampung, tapi lukisan yang paling menarik saat ini, menurut Jackbro adalah lukisan bertema toleransi, berlatarbelakang hutan kota sementara black panter dan rusa saling menyayangi.

Oh, ya? Betulkah kita sudah tua? Umur adalah langkah kaki yang belum berujung. Pada ujung dimana langkah itu terhenti, bukan urusan manusia.

Perlu kau ketahui, Guetas, kata Jackbro bernostalgia mengenang empat puluh tahun silam, masa indah pertama kali bertemu, namun hingga kini indah tetaplah indah pada waktunya.

Perlu kau ketahui, Guetas. Aku dibilang tua, memang betul. Beruntung, kita tidak saling melengserkan, padahal kita mungkin dituding manusia bermuatan wabah, virus cerdas pandai bermutasi.

Ke sini saja, duduklah di sampingku. Aku ingin berterus terang mengatakan aku bukan manusia penyakitan. Dengarlah, bukan aku sakit, tapi manusia adalah rumah segala macam penyakit, beda dengan rumah sakit yang didesain bebas penyakit.

Soalnya, sejak kecil, aku sudah mengalami pendarahan hebat dan itu menakutkan, seperti gusi berdarah karena gigi tercabut. Hingga aku tua, gusiku sering  berdarah.

Telapak kaki berdarah karena menginjak duri. Aku sudah pernah batuk darah dan muntah berdarah. Aku juga pernah berak darah dan kencing berdarah. Sesungguhnya, aku ini menderita penyakit apa? Kanker itu deritaku? Nanti dulu. Hanya itu tubuh manusia mengandung darah, jangan cemas. 

Nanti saja. Dunia hampa tanpa rokok. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Bagiku, manusia beruntung karena tubuhnya terbalut kulit. Rokok itu mahal karena tembakau terbungkus kertas. Telanjang itu, kata orang, manusiawi.

Malam kian larut. Ada baiknya, kau tidur duluan, Guetas. Jackbro tidak ingkar janji, kalau itu hanya soal menyiapkan menu breakfast. Jangan cemasi kekinian ini. Aku masih seperti dulu.

Aku, Jackbro, pasti membangunkan kau setelah aku selesai melukis black panther si mata kucing berbulu domba itu. Tidurlah, dan jangan bangun lagi sebelum lukisan ini nyaris tidak mungkin rampung. It's time to breakfast. (Larikata)

Author: Yunius Djaro  

Short Story', Januari 2021