Translate

Sabtu, 31 Oktober 2020

Dua Puluh Tahun Ketapang

Pohon Ketapang ini, ditanam, dipelihara dan dirawat selama 20 tahun.  Ketapang atau Katapang  (terminalia catappa) diklaim sebagai pohon pantai yang indah dan rindang.

Membangun gedung pencakar langit 30 lantai, misalnya, mungkin butuh waktu sekitar 10 tahun, beda dengan pohon ini. Walau sudah 20 tahun, tingginya sekitar 10 meter, karena sering dipangkas.

Apakah nilai pohon ini relatif lebih murah, harganya, jika dibanding gedung megah menjulang tinggi itu? 

Ada sejumlah kajian ilmiah tentang pohon ketapang ini, membuktikan bahwa kontribusi pohon ini untuk dunia kesehatan, dipandang cukup signifikan. 

Para pencinta ikan yang membudidayakan ikan di aquarium di rumah, selalu menggunakan daun Ketapang dalam merawat kesehatan ikan mereka.

Tidaklah heran hal itu dilakukan para pencinta hewan apabila ingin mengobati hewan mereka yang terserang penyakit, dengan cara merebus daun Ketapang dan diberi minum hewan dimaksud.

Sebagai minuman alternatif dalam memelihara dan merawat  kesehatan, manusia juga bisa mengonsumsi air rebusan daun Ketapang.

Penulis juga menggunakan air rebusan daun Ketapang untuk mengobati hewan peliharaan dan mengonsumsinya sebagai minuman kesehatan alternatif,  secara simultan dalam beberapa tahun belakangan ini. (Larikata)



Senin, 26 Oktober 2020

Cerpen : Hujan

 Udara malam ini cukup sejuk. Itu karena hujan. Serasa begitu. Tidak juga. Apa betul hujan membuat udara terasa sejuk?  

Dalam mobil full AC, sejuk memang nyata. Mari kita berkayal. Menghayal itu sehat, gratis. Menghayal tentang masa depan generasi muda pascha rezim ini tamat.

Sekarang ini bulan Oktober, tahun 2020. Manusia jadi makin tua, setiap hari. Setiap hari umur kita menua. 

Anda mungkin berkata, apa saja yang mau dikatakan, misalnya ingin menulis ceritera pendek atau cerpen yang fiksi banget asalkan masuk akal. 

Kalau Anda tak keberatan, mari menulis cerpen bersamaku.  Cerpen ini bukan hanya masuk akal sebab disusun secara akal-akalan. 

"Mas Panci, minta rokok sebatang,"  kata temanku memohon. Narasi ini justeru bernuansa cerpen, fiksi banget.

"Bang Robi, kau minta rokok pada seorang pemulung, jangan bikin malu kau ini," kataku berbisik.

Robi melangkah mendekatiku. "Sejak kapan Mas Panci jadi pemulung?  Wah, ini berarti dia sudah jadi kompetitor, rival berat bagi saya," kata Robi sembari menghirup rokok pemberian Bang Panci.

Sesama pemulung mesti kompak, kataku kepada Panci dan Robi. Seperti bus kota,  dilarang saling mendahului bila menggilas tumpukan sampah.

Saya perhatikan raut wajah keriput dua orang sahabatku ini yang sedang serius berdialog. Mereka sepakat meladeni kompetitor kelas lokal, seperti mereka itu. Kompetitor mulung bisa muncul dadakan dan menghilang, raib kapanpun mereka mau.

Berapa rupiah kau dapat hari ini, kata Panci menatap rekannya.  Sudah berapa kilometer jarak tempuh hari ini?

"Wah, melelahkan," kata Panci. Hasil mulung kemarin sudah dijual,  uang yang terkumpul nga nyampe dua dollar AS. Hari ini agak lumayan, lebih dari dua dollar.

Kita akan mulung hingga tetes darah  penghabisan? Aku hanya bertanya kepada Panci dan Robi. Aku serius mendengar dialog dua rekanku.

Mereka juga berbicara akan lebih giat mulung demi menghidupi keluarga. Mereka tak ingin keluarga mereka menjual diri atas nama selingkuh, malu diarak dan diborgol kemudian dipertontonkan di tv.

Sepertinya mereka paham bahwa di negri ini, negara tidak mengakui keberadaan fakir miskin dan anak terlantar. Padahal orang miskin tak bakalan hilang dari bumi ini.

Kita harus nabung uang ini. Aku, kata Robi, akan gunakan uang ini untuk investasi. Anakku butuh biaya pendidikan cukup banyak. 

Investasi ke anak, lumayan hasilnya sebab kalau besok dia pura-pura bangkrut, nggak ada modal yang dilarikan ke luar negeri. Tidak butuh red notice,  kata Robi.

Ya, Jakarta makin indah dipandang ketika banjir menerjang memasuki pekarangan penduduk. Air tak bisa diborgol, padalah masuk pekarangan orang tanpa ijin. Hujan lagi, bung! (Larikata)











Sabtu, 24 Oktober 2020

Tulis Ulang, Mari Menulis

 Tulis Ulang, Mari Menulis, adalah narasi soal Mari Menulis yang dipublikasikan di Blogspot inl berjudul Mari Menulis, nyatanya hilang entah kenapa.

Belum diketahui apa penyebabnya. Hilang tentu ditulis ulang, terkait soal pentingkah kita menyaksikan manusia terborgol kekuasaan?

Wow, ini, kan era digitalisasi, terdengar keren ucapannya. Terborgol kekuasaan?

Apalagi mendengar ucapan, kalau dibilang hoax ya hoax. Sama juga dengan perkataan sampah ya sampah, sekecil apapun, sampah tetaplah sampah.

Ketika kecil orang tua ingatkan, jangan bermain sampah, itu mengotori badan. Tapi kini, penguasa ingatkan, jangan coba timbulkan kegaduhan dengan mengobral hoax.

Uniknya, hoax sebagai suatu bentuk perbuatan melanggar hukum itu, kekerasan verbal itu, potensial menyeret para orang tua ke jeruji besi. 

Para orang tua tak sempat mengajari anak mereka menjauhi hoax lantaran mereka kurang mampu menjabarkan hoax? Menggurui anak jangan bermain sampah nampaknya terlalu gampang ketimbang menggurui diri sendiri menjauhi hoax.

Kata orang, sampah itu sumber penyakit. Kini, anak kecil, orang dewasa, orang tua main sampah dan mereka tidak dituding sumber penyakit. Kok, bisa begitu?

Nyatanya, sampah jadi sumber kehidupan. Fakir miskin dan orang terlantar yang jadi tanggungan negara, tapi kini terabaikan, menafkahi diri dari sampah. Memang, mereka itu ditanggung negara, bukan ditanggung rezim yang memerintah?

Bagi komunitas pemulung, Covid-19 bukan ancaman serius kematian umat manusia, akan  tetapi kelaparan yang paling menakutkan, paling mematikan. Hingga kini, nyaris tak terdengar pemerintah melarang pemulung beraktifitas hanya karena pandemi.

Nampaknya, sumber penyakit bukanlah dominasi sampah. Sumber penyakit terkini sudah berpindah ke mulut manusia.

Corona alias Covid-19, hantu penggembira masa kini, telah menjadikan mulut manusia sumber penyakit, sehingga layak diberi masker. Enak mana, tangan diborgol atau mulut terborgol?

Indonesia kini memasuki era silat lidah? Unik, tak mungkin kita mengetahui siapa pemenangnya, karena tak ada wasit silat lidah, kecuali olahraga pencak silat.

Hoax, ya hoax, katanya bernada otoriter. Corona, ya Covid-19 itu. Indonesia memang terborgol kecerobohan. Black market of justice, kata orang. (Yunius Djaro)