Masih seperti dulu, dia masih merokok. Aku menyarankan, berhentilah dan tinggalkan rokok. Anda sudah tua.
Dia malah membentak. Menyalak seperti anjing terjepit pintu. Suara itu nyaris membuatku muntah. Nuansanya, romantis berbungkus melodi cinta, yang indah dalam keindahan, tapi tulus adanya. Pura-pura membentak.
Saya ini istrimu. Hari ini, namaku kau panggil dengan sebutan Guetas. Sebentar lagi, namaku itu kau sebut Geser. Sering, kau panggil namaku Kopi, ketika kau minta dibuatkan secangkir kopi. Tidak mengapa. Menyapa diriku ember juga tidak digubris lagi.
Guetas mencibir. Dia tahu bagaimana menyiasati suami bertipikal black panther, semacam jaguar, yang layak tinggal di hutan Amazon yang indah itu, tidak adiktif. Apa jadinya kalaulah pipi membasah dituding rasis?
Aku tidak tahu sudah berapa ratus kali kau berperilaku rasis pada diriku. Aku memilih mengalah terus. Itu demi keutuhan kita. Toleransi. Padahal, idealnya, kita pisah ranjang. Bahkan, pisah pulau, terserah kau saja.
Tapi, kini dan mungkin seterusnya, Guetas gagal. "Betul, dia adalah ayahmu, karenanya gaung ucapan ini aku telan sendiri," kata Guetas kepada anaknya, Nura, yang akan bergegas menuju kantor.
Nura, ujar Guetas, bekerjalah secara profesional. Lihatlah, bapakmu sudah tua, penganggur, perokok berat dan penyakitan pula. Sekarang, kau adalah tulang punggung keluarga. Jika kau dipecat, rumah ini kita jual buat biaya hidup.
Guetas berkata, setiap saat keluarga kita terancam bangkrut. Sistem kontrak kerja memang potensial buat kami para orang tua yang usia lanjut ini merasa terintimidasi secara moril.
Bayangkan, kata Guetas kepada putrinya itu, jika saja bulan depan, kontrak kerja itu tidak diperpanjang, mau apa kita ini. Lamar kerja lagi? Kehidupan buruh seperti telur diujung tanduk.
Nura hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya. "Aku paham," kata Nura, yang juga membenarkan pernyataan ibunya mengisyaratkan nasib buruh seperti telur diujung tanduk adalah suatu kecemasan fundamental.
Mereka berpisah. Guetas mendekati suaminya. Terserah kamu saja, Jackbro. "Tidak boleh seorang pun mendengar kata-kata yang cocok untuk menjustivikasi sang pecandu."
Lantas, kenapa masih terdengar suara orang batuk? "Batukku tidak berdarah lagi, Guetas." Penyakit yang saya alami ini perlahan-lahan akan pulih, kata Jackbro, yang menyadari betul bahwa manusia tidak mampu menyembuhkan orang sakit.
Selinting rokok habis terbakar. Asap menggulung melewati cerobong, yang dicolok karena tersumpal upil, menyembur putih sutra warna menggulung indah sekali.
Oh, pria jago pelintir, kau itu tua. Master gagap. Boleh kau pelintir asap rokok ini, tapi jangan coba kau pelintir maklumat itu. Ultimatum, sikat habis. Itu bukan pelanggaran hak asasi manusia. Mati kita.
Kau itu, kata Guetas penuh kesal. Senyumanmu kurang elok. Tawamu lepas, tapi untuk menghibur diri sendiri. Aku tidak heran, tawa canda macam begitu membuat perempuan salah fokus.
Bicaralah selagi kau mau. Aku tidak ingin berdebat, kata Jackbro. Apalagi, hari ini kita menganggap tidak penting merayakan empat puluh tahun hidup bersama. Nampak menggelitik, hanya karena kau batuk, kau berkata, buah dari hasil menghirup asap rokok selama empat puluh tahun meski kau bukan perokok.
Cukup banyak orang mempertanyakan batuk yang dialami suamiku. Aku selalu menyarankan, dia berhenti merokok. Kami nyaris berhantam. Malam makin larut. Dua cangkir kopi ludes.
Tanpa kopi, perokok mati total, mati terbunuh kreatifitas. Sesederhana itukah ilustrasinya? Ungkapan itu membuatku termenung, dan menyimpulkan sekolah masa kini itu penting, walau berujung pada kultur perbudakan mayoritas.
Retorika memang selalu muncul dalam kondisi orang memandang kemapanan hanyalah ketertinggalan, atau orang yang isi kepalanya bersemi replika kekejaman masa silam yang diduplikasi masa kini.
Perbudakan hidup lagi. Sehebat apapun sang mentari, manalah mungkin dia selimuti pelangi. Sama-sama kan indah pada waktunya. Masih seperti dulu.
"Masih ada hari esok, kau bisa merokok lagi," kata Guetas. Istirahatlah, ujar Guetas membujuk Jackbro, ingat umur.
Buat apa? Biarkan umur memacu nadiku. Nanti dulu, kata Jackbro dalam hati. "Jangan kau bilang aku sudah tua." Jackbro sinis, tapi dia tidak membuyarkan isi kepalanya untuk menginjakkan kaki di hutan Amazon.
Oh, Amazon. Indah itu. Neraka hijau. Amazon memang beda sekali dengan rayuan pulau kelapa. "Bukan lautan hanya kolam susu." Amazon adalah masa depan umat manusia.
Amazon, hutan hujan tropis seluas 5,5 juta kilometer persegi, terletak di sembilan negara. Negara dimaksud yakni: Brazil, Kolombia, Peru, Venezuela, Ekuador, Bolivia, Guyana, Suriname dan Guyana Perancis.
Kalau saja aku bisa ke tempat ini berarti kesempatan menulis buku tentang Amazon, menulis buku dalam perspektif manusia Indonesia, bisa terwujud. Wow, keren.
Wow, keren betul, pikir Jackbro. Standing and flying. Sembilan negara pasti aku kunjungi. Ketika menginjakkan kaki di tanah Amazon itu, berarti sembilan negara sudah aku datangi.
Sesederhana itu. Tidak mengapa, kita perlu sederhanakan sesuatu yang ternyata tidak sederhana, apalagi ingin menyamakan diri dengan black panter sang kucing hitam yang jago membunuh untuk makan.
Jangan sengaja menyakiti siapapun, suamiku, kata Guetas geram sembari melangkah menjauhi Jackbro si mata kucing yang serius melukis wajah humanis black panther.
Aku bergeser beberapa meter dari sisinya. Posisi duduk berhadapan. Kepulan asap rokok membakar spritualitas diri, seperti yang selalu diulang-ulang dalam ucapan dia.
Beruntung, manusia Indonesia gagal membujuk pemerintah legalkan ganja. Makanya, yang nampak pada gambar seram di bungkus rokok bertulis peringatan: rokok merenggut kebahagiaan saya satu persatu. "Karena rokok, saya terkena kanker tenggorokan."
Jackbro mengatakan, dia tidak perduli kalau harga rokok dinaikan. Dia malah senang sekali kalau harga rokok makin mahal. Soalnya, dalam perspektif inilah dia ingin menyaksikan kemiskinan struktural berkembang makin meluas dan merata dipicu keserakahan manusia paksa jual mahal.
Mata merah melotot. Tersenyum sinis. Melirik penuh pesona. Hampir setiap hari dia melukis tidak rampung, tapi lukisan yang paling menarik saat ini, menurut Jackbro adalah lukisan bertema toleransi, berlatarbelakang hutan kota sementara black panter dan rusa saling menyayangi.
Oh, ya? Betulkah kita sudah tua? Umur adalah langkah kaki yang belum berujung. Pada ujung dimana langkah itu terhenti, bukan urusan manusia.
Perlu kau ketahui, Guetas, kata Jackbro bernostalgia mengenang empat puluh tahun silam, masa indah pertama kali bertemu, namun hingga kini indah tetaplah indah pada waktunya.
Perlu kau ketahui, Guetas. Aku dibilang tua, memang betul. Beruntung, kita tidak saling melengserkan, padahal kita mungkin dituding manusia bermuatan wabah, virus cerdas pandai bermutasi.
Ke sini saja, duduklah di sampingku. Aku ingin berterus terang mengatakan aku bukan manusia penyakitan. Dengarlah, bukan aku sakit, tapi manusia adalah rumah segala macam penyakit, beda dengan rumah sakit yang didesain bebas penyakit.
Soalnya, sejak kecil, aku sudah mengalami pendarahan hebat dan itu menakutkan, seperti gusi berdarah karena gigi tercabut. Hingga aku tua, gusiku sering berdarah.
Telapak kaki berdarah karena menginjak duri. Aku sudah pernah batuk darah dan muntah berdarah. Aku juga pernah berak darah dan kencing berdarah. Sesungguhnya, aku ini menderita penyakit apa? Kanker itu deritaku? Nanti dulu. Hanya itu tubuh manusia mengandung darah, jangan cemas.
Nanti saja. Dunia hampa tanpa rokok. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Bagiku, manusia beruntung karena tubuhnya terbalut kulit. Rokok itu mahal karena tembakau terbungkus kertas. Telanjang itu, kata orang, manusiawi.
Malam kian larut. Ada baiknya, kau tidur duluan, Guetas. Jackbro tidak ingkar janji, kalau itu hanya soal menyiapkan menu breakfast. Jangan cemasi kekinian ini. Aku masih seperti dulu.
Aku, Jackbro, pasti membangunkan kau setelah aku selesai melukis black panther si mata kucing berbulu domba itu. Tidurlah, dan jangan bangun lagi sebelum lukisan ini nyaris tidak mungkin rampung. It's time to breakfast. (Larikata)
Author: Yunius Djaro
Short Story', Januari 2021