Translate

Senin, 26 Oktober 2020

Cerpen : Hujan

 Udara malam ini cukup sejuk. Itu karena hujan. Serasa begitu. Tidak juga. Apa betul hujan membuat udara terasa sejuk?  

Dalam mobil full AC, sejuk memang nyata. Mari kita berkayal. Menghayal itu sehat, gratis. Menghayal tentang masa depan generasi muda pascha rezim ini tamat.

Sekarang ini bulan Oktober, tahun 2020. Manusia jadi makin tua, setiap hari. Setiap hari umur kita menua. 

Anda mungkin berkata, apa saja yang mau dikatakan, misalnya ingin menulis ceritera pendek atau cerpen yang fiksi banget asalkan masuk akal. 

Kalau Anda tak keberatan, mari menulis cerpen bersamaku.  Cerpen ini bukan hanya masuk akal sebab disusun secara akal-akalan. 

"Mas Panci, minta rokok sebatang,"  kata temanku memohon. Narasi ini justeru bernuansa cerpen, fiksi banget.

"Bang Robi, kau minta rokok pada seorang pemulung, jangan bikin malu kau ini," kataku berbisik.

Robi melangkah mendekatiku. "Sejak kapan Mas Panci jadi pemulung?  Wah, ini berarti dia sudah jadi kompetitor, rival berat bagi saya," kata Robi sembari menghirup rokok pemberian Bang Panci.

Sesama pemulung mesti kompak, kataku kepada Panci dan Robi. Seperti bus kota,  dilarang saling mendahului bila menggilas tumpukan sampah.

Saya perhatikan raut wajah keriput dua orang sahabatku ini yang sedang serius berdialog. Mereka sepakat meladeni kompetitor kelas lokal, seperti mereka itu. Kompetitor mulung bisa muncul dadakan dan menghilang, raib kapanpun mereka mau.

Berapa rupiah kau dapat hari ini, kata Panci menatap rekannya.  Sudah berapa kilometer jarak tempuh hari ini?

"Wah, melelahkan," kata Panci. Hasil mulung kemarin sudah dijual,  uang yang terkumpul nga nyampe dua dollar AS. Hari ini agak lumayan, lebih dari dua dollar.

Kita akan mulung hingga tetes darah  penghabisan? Aku hanya bertanya kepada Panci dan Robi. Aku serius mendengar dialog dua rekanku.

Mereka juga berbicara akan lebih giat mulung demi menghidupi keluarga. Mereka tak ingin keluarga mereka menjual diri atas nama selingkuh, malu diarak dan diborgol kemudian dipertontonkan di tv.

Sepertinya mereka paham bahwa di negri ini, negara tidak mengakui keberadaan fakir miskin dan anak terlantar. Padahal orang miskin tak bakalan hilang dari bumi ini.

Kita harus nabung uang ini. Aku, kata Robi, akan gunakan uang ini untuk investasi. Anakku butuh biaya pendidikan cukup banyak. 

Investasi ke anak, lumayan hasilnya sebab kalau besok dia pura-pura bangkrut, nggak ada modal yang dilarikan ke luar negeri. Tidak butuh red notice,  kata Robi.

Ya, Jakarta makin indah dipandang ketika banjir menerjang memasuki pekarangan penduduk. Air tak bisa diborgol, padalah masuk pekarangan orang tanpa ijin. Hujan lagi, bung! (Larikata)











Tidak ada komentar:

Posting Komentar